Rabu, 06 Juli 2011

Tugas dan Resiko Guru Kelas VI Sekolah Dasar

Sebagai guru kelas VI jenjang sekolah dasar, atau Kelas III SLTP, atau juga Kelas III SLTA, tentunya mempunyai beban yang sangat berat.
Pertama kita dituntut untuk memberikan pelayanan yang luar biasa kepada siswa, dengan harapan siswa lulus  100%. Contohnya kita perlu menambah jam pelajaran di luar jam dinas untuk memberikan tambahan pelajaran. Bisa pagi atau jam pulang sekolah, atau juga pada malam hari. Jika tambahan pelajaran di sore atau malam hari, biasanya siswa kita yang datang ke rumah kita. Sehingga waktu istirahat kita harus terkurangi oleh kegiatan tersebut. Belum lagi kita membutuhkan dana untuk pembelian alat tulis dan lainnya.
Minta ganti kepada murid atau wali murid? Bisa saja..Tapi lama kelamaan dikawatirkkan akan menimbulkan fitnah. "Emangnya di sekolah ndak diberi pelajaran? Kok masih disuruh les ke rumahnya, bayar lagi... Apa emang dibuat seperti itu untuk menambah penghasilan gurunya? Apa masih kurang gaji guru?" Kalimat tersebut sering saya dengar dari beberapa oknum wali murid. Dan bisa jadi oknum guru ada yang memang memanfaatkan kesempatan seperti itu.
Kedua, tuntutan moral dari orang tua yang sangat berharap anaknya bisa mendapatkan nilai setinggi-tingginya agar dapat melanjutkan ke sekolah pada jenjang berikutnya sesuai keinginan mereka.
Keinginan siswa dan wali siswa untuk bisa sekolah ke jenjang yang lebih tinggi pada sekolah yang favorit menurut mereka terkadang mengabaikan proses yang perlu kita jalani pada kegiatan belajar mengajar. Contohnya kita terlalu memforsir siswa untuk belajar, berlatih soal dan sebagainya tanpa memandang kondisi siswa. Pada saat nilai kelulusan keluar guru juga harus siap menerima komplain dari masyarakat/wali siswa jika terjadi ketidaklulusan, atau jika nilai siswa terlalu jelek sehingga tidak dapat masuk ke sekolah yang mereka inginkan.
Lalu bagaimana sikap kita sebagai guru?
Semua itu adalah tugas dan resiko kita.
Anak/siswa tidak pernah salah. 
Anak/siswa tidak ada yang bodoh.
Kalau anak/siswa salah berarti kita (Guru dan wali murid) yang kurang memberikan perhatian kepada mereka.
Kalau anak/siswa bodoh, berarti kita (Guru dan wali murid) yang tidak mampu membelajarkan mereka. Cara guru mengajar yang tidak sesuai dengan kondisi siswa dan kurangnya perhatian orang tua terhadap belajar anak saat di rumah.
Resiko lain dari guru pada tingkat terakhir di jenjang tersebut adalah pada saat penulisan Ijazah anak. yang tidak boleh ada kesalahan, coretan dan sebagainya yang dapat merusak ijazah. sebab jika terjadi kesalahan seperti saya, maka harus mengganti transport atau apa itu namanya untuk penggantian blangko ijazah sebesar Rp. 25.000,- per lembarnya. Jadi saya harus mengganti Rp. 125.000,- ( untuk 5 lembar) dan transport koordinator sebesar Rp. 25.000,- (seikhlasnya). Totalnya adalah Rp. 150.000,- . Ya wajarlah kalau saya mengeluarkan dana sebesar itu untuk penggantian blangko ijazah yang saya rusakkan, karena sudah resiko saya. Daripada salah tetapi tetap dibagikan kepada siswa, kan dosa??? (hiks...hiks...hiks...)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar